EnsikloPenjas

Kamis, 31 Mei 2012

Pengaruh Ketinggian Terhadap Olahraga

Dengan bertambahnya ketinggian maka tekanan barometer menurun dan kepadatan udara juga menurun. Hal ini memberi keuntungan bagi sprinter, pelompat dan pelempar akan mengalami tahanan yang lebih kecil bagi dirinya maupun bagi benda yang dilemparkannya. Tetapi para atlit daya tahan akan mengalami hal yang sebaliknya. Walau dengan bertambahnya ketinggian presentasi O2 di udara tetap konstan, menurunya tekanan barometer menyebabkan menurunya tekanan parsial O2. Hal ini menyebabkan tekanan parsial O2 dalam inspirasi (PiO2) kurang dari 150 mmHg pada puncak Pikes (4300 m) dan menjadi 43 mmHg pada puncak gunung Everest (8848 m). Hal itu disertai dengan menurunnya tekanan O2 dalam darah untuk mengangkut O2 yang terutama berikatan dengan hemoglobin dalam eritrosit. Bentuk sigmoid dari kurva disosiasi O2 menyebabkan perubahan yang sangat kecil dari kejenuhan ikatan oxyhemoglobin fsri 98% pada permukaan laut ke 90% pada ketinggian dari 3000 m. Tetapi diatas ketinggian ini akan terjadi penurunan kejenuhan O2 yang tajam. Pada puncak gunung Everest (PAO2) turun dibawah 28 mmHg dan kejenuhan O2 dibawah 50%.
Respon akut terhadap ketinggian
Respon yang segera terhadap menurunya PO2 dalam darah arteri dan menurunya kapasitas pengangkut O2 adalah hiperventilasi. Hal ini disebabkan oleh perubahan kepekaan chemoreseptor yang terletak di corpus aorticus dan corpus caroticus terhadap PO2. Respon ini meningkatkan PO2 alveolar sehingga difusinya ke dalam darah meningkat. Juga ada peningkatan frekuensi denyut jantung dan cardiac output. Keseluruhannya bertujuan untuk memelihara pasokan O2 ke jaringan dalam kondisi menurunnya kandungan O2 dalam arteri darah.
Penurunan awal volume plasma disebabkan oleh karena dehidrasi yang terjadi dalam lingkungan dingi, udara yang kering, disertai dengan meningkatnya kadar hemoglobin dan hematokit. Tetapi bila ini terjadi berlebihan, akan menyebabkan meningkatnya viskositas darah yang menyebabkan alirannya menjadi sulit dan dengan demikian mengurangi jumlah darah balik (venus return) dan meningkatkan kerja jantung. Kadar 2,3 difosfogliserat dakam ertitrosit meningkat selama hari-hari pertama pada ketinggian dan hal ini membantu lepasnya O2 dari hemoglobin dalam kapiler-kapiler otot. Hal ini mengkopensasi pengaruh hiperventilitasi yang menyebabkan menurunnya PCO2 dalam darah arteri dan menggeser kurva disosiasi ke kiri. Adanya peningkatan awal pH darah terutama dikompensasi oleh meningkatnya exresi bikarbonat ileh ginjal, namun demikian pH darah arteri masih selalu alkalis.
Namun demikian tak satupun dari pengaturan-pengaturan ini cukup untuk dapat mengatasi menurunya transport O2 yang terjado pada awal ketinggian, misalnya selama olehraga di ketinggian lebih dari 1500 m. Hal ini terlihat dari konsumsi O2 max yang menurun kira-kira 3% untuk setiap kenaikan 300 m diatas 1500 m. Oleh karena iut Mexico city (2300 m) menurunya konsumsi O2 maksimal adalah 10%. Tetapi terdapat respon individual dan kecepatan penurunannya semakin besar dengan ketinggian yang semakin meningkat. Dengan demikian pada puncak Everest (8848 M) VO2 max pada orang-orang yang dapat mencapai ketinggian itu berkurang hingga dibawah sepertiga nilainya di permukaan laut.

Aklimatisasi terhadap ketinggian
Setalah beberapa waktu di ketinggian terjadilah penyesuaian denga iklim lingkungan setempat (aklimatisasi). Vertilasi paru terus meningkat dan juga terjadi peningkatan progrsif dari jumlah eritrosit dan Hb dalam beberapa bulan yang akan membantu memulikan kandungan O2 dan transportasinya. Juga terdapat peningkatan kapilarisasi dan konsentrasi enzy-enzym oksidatif dalam otot-otot yang akan berperan dalam meningkatkan performance. Perubahan-peribahan adaptif ini meningkatkan kemampuan endurancem tetapi tidak akan pernah mencapai nilainya di permukaan laut. Wakut unutk terjadinya aklimatisasi penuh tergantung pada ketinggian dan bersifat individual. Diperlukan waktu sekitar 3 minggu untuk beraklimatisasi terhadap ketinggian sedang (2300-2700 m). Walaupun telah diperlukan waktu untuk terjadinya penyesuaian-penyesuaian ini, pada ketinggian ini, pada ketinggian 2300 m konsumsi O2 maximal tetap turun 6-7% dibawah nilai yang dapat diperoleh di permukaan lain. Hal ini berarti bahwa proses aklimatisasi max menurun 3% untuk setiap kenaikan 300 m diatas ketinggian 1500  m. Tetapi diatas 6000 m aklimatisasi tidak mungkin dan dengan pemaparan yang lama orang akan mengalami kemunduruan, kehilangan berat badan dan kemampuan penampilannya.

Latihan ketinggian
Oleh karena adaptasi fisiologis terhadap kehidupan di  ketinggian serupa dengan hasil latihan ketahanan, maka untuk mendapatkan hasil yang terbaik disarankan untuk menggabungkan keduanya yaitu stress ketinggian dan latihan. Penelitian menunjukan bahwa orang-oranng yang tidak terlatih akan mendapatkan kemajuan dalam penampilan dipermukaan laut setelah mendapatkan latihan pada ketinggian, tetapi hal itu belum tentu berlaku bagi atlet yang sangat terlatih. Masalah utamanya pada latihan ketinggian adalah bahwa intensitas dan volume kerja harusss diturunkan agar sesuai dengan lingkungan. Bila seseorang pelatih atay atlet berhasrat agar sesuai pada ketinggian, dianjurkan untuk menggunakan ketinggian sedang (1800-2000 m) pada ketinggian itu gejala penyakit gunung belum teratasi sehingga beban kerja dapat dipertahankan pada tingkat yang layak. Strategi lain ialah dengan melatih secar bergantian untuk jangka pendek pada ktinggian sedang dan peda permukaan laut. Pada ketinggian yang lebih tinggi, agaknya tidak mungkin penyesuaian-penyesuaian fisiologis dapat mengkompensasi berkurangnya penurunan intensitas latihan. Penelitian lebih lanjut dilakukan untuk dapat lenih memahami beberapa waktu yang diperlukan untuk terjadi perubahan pada latihan ketinggian dan beberapa lama hasil latihan dapat dipertahankan pada permukaan laut dan bagaimana variasi individual terhadap latihan pada ketinggian.
Tetapi bila kompetisi akan diselanggarakan pada ketinggian, sangatlah perlu untuk mengadakan latihan-latihan pendahuluan pada ketinggian itu. Sangatlah penting untuk memiliki kemampuan aerobik yang tinggi sebelum meninggalkan permukaan laut dan kemudian diatas ketinggian 1500 m mendaki dengan kecepatan 300 m setiap hari, disertai dengan intensitas latihan yang semakin bertambah. Intensitas latihan yang rendah dan masa pemulihan yang panjang penting pada beberapa hari pertama pada ketinggian sampai menghilangnya gejala-gejala penyakit gunung. Hal ini dapat dibantu dengan mengkonsumsi sejumlah besar cairan dan tata gizi tinggi karbohidrat untuk mengatasi dehidrasi dan meningkatkan kemampuan berlatihnya.

Penyakit ketinggian
Pendaki yang cepat ke ketinggian sedang dan yang lebih tinggi sering disertai dengan berbagai gejala penyakit.

PENYAKIT GUNUNG AKUT
Ini adalah kondisi yang sering dialamu pada 4-72 jam pertama pada ketinggian diatas 2000 m. Hal ini disertai dengan gejala-gejala misalnya penykit kepalam mudah tersinggung, susah tidurm pusing, mual, tidak ada nafsu makan dan muntah. Berat gejala-gejala tersebut sebagian bersar tergantung pada kecepatan pendakian. Penykit gunung akut (PGA) dapat diminimalkan dari ketinggian rendah (<1500 m) ke ketinggian (>2000 m) berlangsung lambat meliputi beberapa hari, asupan cairan dan karbohidrat dalam tata gizi dtingkatkan dan program latihan diatur pada tingkat yang ringan. Biasanya penyakit itu hanya berlangsung untuk 2-3 hari.

UDEMA PARU-PARU KETINGGIAN TINGGI
Hal ini adalah kegawatan medis dan memerlukan pertolongan segera dan bola mungkin dievakuasi. Perjalanan waktunya sama dengan PGA. Gejalanya yang menonjol meliputi sesak nafas, batuk, rasa tak nyaman di dada dan sering diesertai terbentuknya aputum yang banyak dan berbusa disertai bercak darah. Pertolongan terdiri dari mengistirahatkan penderita dalam posisi tegak.

UDEMA CEREBRAL PADA KETINGGIAN TINGGI
Hal ini jarang, tetapi merupakan ancama maut yang terjadi pada ketinggian lebih dari 4000 m. Gejlanya meliputi sakit kepala berat, disorientasi, halusinasi dan coma dan perlongan memerlukan terapi O2 kartikosteroid intravena dan segera evakuasi ke daratan rendah. Sekali lagi pencegahannya dapat dilakukan dengan memberi waktu utuk aklimatisasi selam pendakian yaitu pendakian harus dilakukan secara melambat.

PERDARAHAN RETINA PADA KETINGGIAN
Pada ketinggian di atas 3500 m perdarhan-perdarahan kecil dapat terjadi di retina. Biasanya asymptomatik kecuali bila terjadi di daerah macula lutea maka akan terjadi gangguan penglihatan. Perkiraan bahwa pendaki gunung yang teralatih akan mendapat resiko yang lebih sedikit terhadap masalah-masalah ketinggian ternyata tidaklah benar. Bahkan pendaki-pendaki besar seperti Sir Edmund Hillary (orang pertama yang mencapai puncak Everst) juga menderita bebrapa kegawatan medis oleh ketinggian yang mengacam maut.




Bookmark and Share

JANGAN LUPA KLIK IKLANNYA YAA..
1 X KLIK SANGAT BERARTI

Anda sedang membaca artikel Pengaruh Ketinggian Terhadap Olahraga. Terimakasih atas kunjungan serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Jika memang bermanfaat, Anda boleh menyebarluaskannya dan jangan lupa untuk menyertakan sumber link dibawah ini:

http://pendidikanjasmani13.blogspot.com/2012/05/pengaruh-ketinggian-terhadap-olahraga.html

0 comments:

Posting Komentar