Teori-Teori Belajar
Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu: (A) teori belajar behaviorisme; (B) teori belajar kognitivisme; (C) teori belajar konstruktivisme; (D) teori belajar humanisme dan (E) teori belajar gestalt.
A. Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
1. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
ri eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
2. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
3. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Kajian konsep dasar belajar dalam Teori Behaviorisme didasarkan pada pemikiran bahwa belajar merupakan salah satu jenis perilaku (behavior) individu atau peserta didik yang dilakukan secara sadar. Individu berperilaku apabila ada rangsangan (stimuli), sehingga dapat dikatakan peserta didik di SD/MI akan belajar apabila menerima rangsangan dari guru. Semakin tepat dan intensif rangsangan yang diberikan oleh guru akan semakin tepat dan intensif pula kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik. Dalam belajar tersebut kondisi lingkungan berperan sebagai perangsang (stimulator) yang harus direspon individu dengan sejumlah konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang dihadapi peserta didik, ada yang bersifat positif (misalnya perasaan puas, gembira, pujian, dan lain-lain sejenisnya) tetapi ada pula yang bersifat negatif (misalnya perasaan gagal, sedih, teguran, dan lain-lain sejenisnya). Konsekuensi positif dan negatif tersebut berfungsi sebagai penguat (reinforce) dalam kegiatan belajar peserta didik.
Seringkali guru mengaplikasikan konsep belajar menurut teori behaviorisme secara tidak tepat, karena setiap kali peserta didik merespon secara tidak tepat atau tidak benar suatu tugas, guru memarahi atau menghukum peserta didik tersebut. Tindakan guru seperti ini (memarahi atau menghukum setiap kali peserta didik merespon secara tidak tepat) dapat disebut salah atau tidak profesional apabila hukuman (negative consequence) tidak difungsikan sebagai penguat atau reinforce.
Peserta didik seringkali melakukan perilaku tertentu karena meniru apa yang dilihatnya dilakukan orang lain di sekitarnya seperti saudara kandungnya, orangtuanya, teman sekolahnya, bahkan oleh gurunya. Oleh sebab itu dapat dikatakan, apabila lingkungan sosial di mana peserta didik berada sehari-hari merupakan lingkungan yang mengkondisikan secara efektif memungkinkan suasana belajar, maka peserta didik akan melakukan kegiatan atau perilaku belajar yang efektif.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
B. Teori Belajar Kognitivisme
Teori belajar kognitivisme mengacu pada wacana psikologi kognitif, yang didasarkan pada kegiatan kognitif dalam belajar. Para ahli teori belajar ini berupaya menganalisis secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan atau cognition dalam aktifitas belajar. Cognition diartikan sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuan (Lefrancois, 1985). Tekanan utama psikologi kognitif adalah struktur kognitif, yaitu perbendaharaan pengetahuan pribadi individu yang mencakup ingatan jangka panjangnya (long-term memory). Psikologi kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Perkatian utama psikologi kognitif adalah upaya memahami proses individu mencari, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Belajar kognitif berlangsung berdasar schemata atau struktur mental individu yang mengorganisasikan hasil pengamatannya.
Struktur mental individu tersebut berkembangan sesuai dengan tingkatan perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif seseorang semakin tinggi pula kemampuan dan keterampilannya dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan yang diterimanya dari lingkungan, baik lingkungan phisik maupun lingkungan sosial. Itulah sebabnya, teori belajar kognitivisme dapat disebut sebagai (1) teori perkembangan kognitif, (2) teori kognisi sosial, dan (3) teori pemrosesan informasi.
1. Perkembangan Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu :
(1) sensory motor;
(2) pre operational;
(3) concrete operational dan
(4) formal operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Asimilasi ditempuh ketika individu menyatukan informasi baru ke perbendaharaan informasi yang sudah dimiliki atau diketahuinya kemudian menggantikannya dengan informasi terbaru. Individu mengorganisasikan makna informasi itu ke dalam ingatan jangka panjang (long-term memory). Ingatan jangka panjang yang terorganisasikan inilah yang diartikan sebagai struktur kognitif. Struktur kognitif berisi sejumlah coding yang mengadung segi-segi intelek yang mengatur atau memerintah perilaku individu; perubahan perilaku mendasari penetapan tahap-tahap perkembangan kognitif. Tiap tahapan perkembangan menggambarkan isi struktur kognitif yang khas sesuai perbedaan antar tahapan. Tahapan perkembangan belajar menurut Piaget di gambarkan pada diagram di bawah ini :
- Sensorimotor inteligence (lahir s.d usia 2 tahun): perilaku terikat pada panca indera dan gerak motorik. Bayi belum mampu berpikir konseptual namun perkembangan kognitif telah dapat diamati
- Preoperation thought (2-7 tahun): tampak kemampuan berbahasa, berkembang pesat penguasaan konsep. Bayi belum mampu berpikir konseptual namun perkembangan kognitif telah dapat diamati
- Concrete Operation (7-11 tahun): berkembang daya mampu anak berpikir logis untuk memecahkan masalah konkrit. Konsep dasar benda, jumlah waktu, ruang, kausalitas
- Formal Operations (11-15 tahun): kecakapan kognitif mencapai puncak perkembangan. Anak mampu memprediksi, berpikir tentang situasi hipotesis, tentang hakekat berpikir serta mengapresiasi struktur bahasa dan berdialog. Sarkasme, bahasa gaul, mendebat, berdalih adalah sisi bahasa remaja cerminan kecakapan berpikir abstrak dalam/melalui bahasa
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a) Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b) Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c) Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d) Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e) Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
2. Kognisi Sosial oleh L.S. Vygotsky
L.S. Vygotsky, mendasari pemikiran bahwa budaya berperan penting dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu perkembangan, tiap individu berkembang dalam konteks budaya, sehingga proses belajar individu dipengaruhi oleh lingkungan utama budaya keluarga. Budaya lingkungan individu membelajarkannya apa dan bagaimana berpikir. Konsep dasar teori ini diringkas sebagai berikut:
- Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual individu melalui 2 cara, yaitu melalui (i) budaya dan (ii) lingkungan budaya. Melalui budaya banyak isi pikiran (pengetahuan) individu diperoleh seseorang, dan melalui lingkungan budaya sarana adaptasi intelektual bagi individu berupa proses dan sarana berpikir bagi individu dapat tersedia.
- Perkembangan kognitif dihasilkan dari proses dialektis (proses percakapan) dengan cara berbagi pengalaman belajar dan pemecahan masalah bersama orang lain, terutama orangtua, guru, saudara sekandung dan teman sebaya.
- Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul tanggung jawab membimbing pemecahan masalah; lambat-laun tanggung jawab itu diambil alih sendiri oleh individu yang bersangkutan.
- Bahasa adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk menyalurkan sebagian besar perbendaharaan pengetahuan yang hidup dalam budayanya.
- Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah sarana primer adaptasi intelektual; ia berbahasa batiniah (internal language) untuk mengendalikan perilaku.
- Internalisasi merujuk pada proses belajar. Menginternalisasikan pengetahuan dan alat berpikir adalah hal yang pertama kali hadir ke kehidupan individu melalui bahasa.
- Terjadi zone of proximal development atau kesenjangan antara yang sanggup dilakukan individu sendiri dengan yang dapat dilakukan dengan bantuan orang dewasa.
- Karena apa yang dipelajari individu berasal dari budaya dan banyak di antara pemecahan masalahanya ditopang orang dewasa, maka pendidikan hendaknya tidak berpusat pada individu dalam isolasi dari budayanya.
- Interaksi dengan budaya sekeliling dan lembaga-lembaga sosial sebagaimana orangtua, saudara sekandung, individu dan teman sebaya yang lebih cakap sangat memberi sumbangan secara nyata pada perkembangan intelektual individu.
3. Pemprosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Model belajar pemrosesan informasi ini sering pula disebut model kognitif information processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf struktural sistem informasi, yaitu:
a) Sensory atau intake register: informasi masuk ke sistem melalui sensory register, tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap dalam sistem, informasi masuk ke working memory yang digabungkan dengan informasi di long-term memory.
b) Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working memory, dan di sini berlangsung berpikir yang sadar. Kelemahan working memory sangat terbatas kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah kecil informasi secara serempak.
c) Long-term memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya sehingga mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki peserta didik. Kelemahannya adalah betapa sulit mengakses informasi yang tersimpan di dalamnya.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
A. Teori Belajar Konstruktivisme
Konsep belajar menurut teori belajar konstruktivisme yaitu pengetahuan baru dikonstruksi sendiri oleh peserta didik secara aktif berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran didasari oleh kenyataan bahwa tiap individu memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi kembali pengalaman atau pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pembelajaran konstruktivisme merupakan satu teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri mereka masing-masing.
Guru hanya sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkonstruksinya menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Berikt tabel peranan peserta didik dan guru dalam pembelajaran konstruktivisme
Peranan Peserta Didik Peranan Guru
Berinisiatif mengemukakan masalah. Mendorong peserta didik agar dan pokok pikiran, kemudian masalah atau pokok pikiran yang menganalisis dan menjawabnya dikemukakannya sejelas mungkin sendiri. agar teman sekelasnya dapat turut Bertanggungjawab sendiri terhadap serta menganalisis dan menjawabnya. kegiatan belajarnya atau Merancang skenario pembelajaran penyelesaiakan suatu masalah. agar peserta didik merasa. Secara aktif bersama dengan teman bertanggungjawab sendiri dalam sekelasnya mendiskusikan kegiatan belajarnya.
penyelesaian masalah atau pokok. Membantu peserta didik dalam pikiran yang mereka munculkan, dan penyelesaian suatu masalah atau apabila dirasa perlu dapat pokok pikiran apabila mereka menanyakannya kepada guru. mengalami jalan buntu. Atas inisiatif sendiri dan mandiri. Mendorong peserta didik agar berupaya memperoleh pemahaman mampu mengemukakan atau yang mendalam (deep understanding) menemukan masalah atau pokok
terhadap sesuatu topik masalah pikiran untuk diselesaikan dalam belajar. proses pembelajaran di kelas. Secara langsung belajar saling • Mendorong peserta didik untuk mengukuhkan pemikiran di antara belajar secara kooperatif dalam mereka, sehingga jiwa sosial mereka menyelesaikan suatu masalah atau menjadi semakin dikembangkan. pokok pikiran yang berkembang. Secara aktif mengajukan dan kelas. menggunakan berbagai hipotesis. Mendorong peserta didik agar secara (k masalah. menuntut proses analisis, sintesis.
Secara aktif menggunakan berbagai dan simpulan penyelesaiannya. data atau informasi pendukung dalam. Mengevaluasi hasil belajar peserta penyelesaian suatu masalah atau didik, baik dalam bentuk penilaian pokok pikiran yang dimunculkan proses maupun dalam bentuk sendiri atau yang dimunculkan oleh teman sekelas. penilaian produk.
Tasker (1992:30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991:12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif peserta didik. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996:20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki peserta didik, (5) mendorong peserta didik untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Diharapkan melalui pemeblajaran konstruktivisme, peserta didik dapat tumbuh kembang menjadi individu yang penuh kepercayaan diri yang memiliki sifat-sifat antara lain:
a. Bersikap terbuka dalam menerima semua pengalaman dan mengembangkannya menjadi persepsi atau pengetahuan yang baru dan selalu diperbaharui;
b. Percaya diri sehingga dapat berperilaku secara tepat dalam menghadapi segala sesuatu;
c. Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan segala sesuatu tanpa mengharapkan atau tergantung pada bantuan orang lain;
d. Kreatif dalam mencari pemecahan masalah atau dalam melakukan tugas yang dihadapinya.
D. Teori Belajar Humanisme
Teori belajar humanisme memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan yang melibatkan potensi psikis yang bersifat kognitif, afektif, dan konatif. Ibu, yang dicontohkan di atas hanya melihat kegiatan belajar anaknya dari sisi afektif semata tanpa menyadari bahwa sisi afektif (perasaan) dan konatif (psikomotorik) turut pula berperan dalam belajar.
Salah seorang tokoh teori belajar humanisme adalah Carl Ransom Rogers (1902- 1987) yang lahir di Oak Park, Illinois, Chicago, Amerika Serikat. Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis. Ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman-pengalaman terapeutiknya yang banyak dipengaruhi oleh teori kebutuhan (needs) yang diperkenalkan Abraham H. Maslow.
Menurut teori kebutuhan Maslow, di dalam diri tiap individu terdapat sejumlah kebutuhan yang tersusun secara berjenjang, mulai dari kebutuhan yang paling rendah tetapi mendasar (physiological needs) sampai pada jenjang paling tinggi (self actualization). Setiap individu mempunyai keinginan untuk mengaktualisasi diri, yang oleh Carl R. Rogers disebut dorongan untuk menjadi dirinya sendiri (to becoming a person). Peserta didik pun memiliki dorongan untuk menjadi dirinya sendiri, karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti dirinya sendiri, menentukan hidupnya sendiri, dan menangani sendiri masalah yang dihadapinya. Itulah sebabnya, dalam proses pembelajaran hendaknya diciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengaktualisasi dirinya.
Aktualisasi diri merupakan suatu proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik. Proses aktualisasi diri seseorang berkembang sejalan dengan perkembangan hidupnya karena setiap individu, dilahirkan disertai potensi tumbuh-kembang baik secara fisik maupun secara phisik masing-masing. Proses tumbuh-kembang pada setiap individu mengikuti tahapan, arah, irama, dan tempo sendiri-sendiri, yang ditandai oleh berbagai ciri atau karakteristiknya masing-masing. Ada individu yang tempo perkembangannya cepat tetapi iramanya tidak stabil dan arahnya tidak menentu, dan ada pula individu yang tempo perkembangannya tidak cepat tetapi irama dan arahnya jelas. Dalam kaitannya dengan proses pendidikan formal (sekolah), Slavin (1994:70- 110) mengelompokkan tahapan perkembangan anak, yaitu (1) tahapan early childhood, (2) tahapan middle childhood, dan (3) tahapan adolescence, dengan dimensi utama perkembangan mencakup (a) dimensi kognitif, (b) dimensi fisik, dan (c) dimensi sosioemosi. Tiap dimensi perkembangan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda antara tahapan perkembangan yang satu dengan tahapan perkembangan yang lainnya.
Pada tahapan early childhood, perkembangan individu dalam dimensi perkembangan kognitif lebih ditandai oleh penguasaan bahasa (language aquisition). Individu pada tahapan perkembangan ini mendapatkan banyak sekali perbendaharaan bahasa. Sejak lahir sampai pada usia 2 tahun biasanya individu (bayi) mencoba memahami dunia sekitarnya melalui penggunaan rasa (senses). Pengetahuan atau apa yang diketahuinya lebih banyak didasarkan pada gerakan fisik, dan apa yang dipahaminya terbatas pada kejadian yang baru saja dialaminya.
Pada tahapan perkembangan middle childhoods, perkembangan kognitif seseorang mulai bergeser ke perkembangan proses berpikir. Pada awalnya, proses berpikir individu pada tahapan perkembangan ini dimulai dengan hal-hal konkrit operasional, dan selanjutnya ke hal-hal abstrak konseptual. Apabila individu gagal dalam perkembangan proses berpikir dalam hal-hal konkrit operasional, maka besar kemungkinan mengalami kesulitan dalam proses berpikir abstrak konseptual.
Pada tahapan perkembangan adollescence, perkembangan kognitif lebih ditandai oleh perkembangan fungsi otak (brain) sebagai instrumen berpikir. Berpikir formal operasional atau berpikir abstrak konseptual mulai berkembang; di samping itu mulai berkembang pola pikir reasoning (penalaran) baik secara induktif (khusus=>umum) maupun secara deduktif (umum=>khusus). Dalam menghadapi segala kejadian atau pengalaman tertentu, individu mengajukan hipotesis atau jawaban sementara yang menggunakan pola pikir deduktif.
E. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
- Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
- Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
- Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
- Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
- Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
- Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
- Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
- Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
- Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
- Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
- Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
- Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
- Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
- Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
- Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.
Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
B. Prinsip Perencanaan Pembelajaran
Sejumlah prinsip yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembelajaran yang mendidik atau dalam pengembangan kurikulum di SD/MI (termasuk pula pada satuan pendidikan lainnya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah) adalah Kurikulum hendaknya dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjaab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. Prinsip ini sesuai dengan konsep dasar teori belajar konstruktivisme dan humanisme, karena peserta didik melakukan kegiatan belajar sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan diarahkan ke pemenuhan kebutuhan dirinya.
1. Prinsip Kurikulum
(2) Prinsip beragam dan terpadu.
(3) Prinsip tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks).
(4) Prinsip relevan dengan kebutuhan kehidupan
(5) Prinsip menyeluruh dan berkesinambungan.
(6) Prinsip belajar sepanjang hayat
(7) Prinsip seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Secara operasional, pengembangan kurikulum harus mengacu pada hal-hal sebagai berikut.
a. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
b. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
c. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan.
d. Tuntutan pengembangan daerah dan nasional
e. Tuntutan dunia kerja
f. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks).
g. Agama.
h. Dinamika perkembangan social
i. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
j. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
k. Kesetaraan jender.
l. Karakteristik satuan pendidikan.
Prinsip penyusunan silabus
(a) lmiah, artinya keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan, terutama ilmu pendidikan dan pembelajaran;
(b) Relevan, artinya cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik;
(c) Sistematis, artinya komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi;
(d)Konsisten, artinya adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian;
(e) Memadai, artinya cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi belajar;
(f) Aktual dan Kontekstual, artinya cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian meperhatikan perkembangan ilmu teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi;
(g) Fleksibel, artinya keseluruhan komponen pribadi dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat; dan
(h) Menyeluruh, artinya komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor).
Anda sedang membaca artikel Hakikat Belajar dan Pembelajaran (III). Terimakasih atas kunjungan serta kesediaan Anda membaca artikel ini.
Jika memang bermanfaat, Anda boleh menyebarluaskannya dan jangan lupa untuk menyertakan sumber link dibawah ini:
0 comments:
Posting Komentar