EnsikloPenjas

Kamis, 05 Juni 2014

Model-Model Pembelajaran Penjas

2.1 Belajar dan Pembelajaran
2.1.1 Pengertian Belajar
Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu apabila terjadi perubahan tertentu, misalnya dari tidak dapat menghitung menjadi dapat menghitung. Slameto (1995: 2) menjelaskan, “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Selanjutnya menurut Gagne (Dahar, 1996: 11) menyatakan, “Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”. Kemudian Usman (1990: 2) menyatakan, “Belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya”.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Usman bahwa dalam belajar terdapat suatu perubahan-perubahan tingkah laku. Perubahan tersebut terjadi secara sadar, bersifat kontinyu, positif dan aktif, bersifat tetap serta mencakup seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 1995: 3). Dalam kaitan dengan pengertian belajar, Suparyanti (1992: 3) menjelaskan beberapa ciri dari belajar, sebagai berikut,
a.    Belajar adalah aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar, baik aktual maupun potensial.
b.    Perubahan itu pada dasarnya berupa kemampuan baru, yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
c.    Perubahan itu terjadi karena usaha.
Sedangkan Sukmadinata (1999: 144) mengemukakan sebagai berikut,
Belajar sesuatu bidang pelajaran, minimal meliputi tiga proses. Pertama, proses mendapatkan atau memperoleh informasi baru untuk melengkapi atau menggantikan informasi yang telah dimiliki atau menyempurnakan pengetahuan yang telah ada. Kedua, transformasi yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas yang baru. Ketiga, proses evaluasi untuk mengecek apakah manipulasi sudah memadai untuk dapat menjalankan tugas mencapai sasaran.

2.1.1 Pengertian Pembelajaran
Berbicara tentang belajar, maka tidak lepas dari proses pembelajaran. Dalam hal ini Hamalik (1995: 57) menjelaskan, “Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran.” Lebih lanjut lagi Hamalik (1995: 58) mengemukakan sebagai berikut,
1.    Pembelajaran adalah upaya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik/siswa
2.    Pembelajaran adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda melalui lembaga pendidikan sekolah
3.    Pembelajaran adalah upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik
4.    Pembelajaran adalah upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga masyarakat yang baik
5.    Pembelajaran adalah suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari
Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat perbedaan pemahaman tetang belajar dan pembelajaran. Belajar diartikan sebagai usaha yang dilakukan seorang individu dalam memperoleh perubahan perilaku, sedangkan pembelajaran adalah upaya yang dilakukan orang lain terhadap seorang individu dengan memberikan informasi dan pengetahuan.

2.2         Model Pembelajaran
2.2.1    Pengertian Model Pembelajaran
Istilah model pembelajaran amat dekat dengan pengertian strategi pembelajaran dan dibedakan dari istilah strategi, pendekatan dan metode pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada suatu strategi,  metode, dan teknik. Sedangkan istilah “strategi “ awal mulanya dikenal dalam dunia militer terutama terkait dengan perang atau dunia olah raga, namun demikian makna tersebut meluas tidak hanya ada pada dunia militer atau olahraga saja akan tetapi bidang ekonomi, sosial, pendidikan. Menurut Ruseffendi (1980), istilah strategi, metode, pendekatan dan teknik mendefinisikan  sebagai berikut:
1.    Strategi pembelajaran adalah separangkat     kebijaksanaan yang terpilih, yang telah dikaitkan dengan faktor yang menetukan warna atau strategi tersebut, yaitu :
a.    Pemilihan materi pelajaran  (guru atau siswa)
b.    Penyaji materi pelajaran (perorangan atau kelompok, atau belajar mandiri)
c.    Cara menyajikan materi pelajaran (induktif atau deduktif, analitis atau sintesis, formal atau non formal)
d.   Sasaran penerima materi pelajaran ( kelompok,   perorangan, heterogen, atau  homogen.
2.      Pendekatan Pembelajaran adalah jalan atau arah yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran  dilihat  bagaimana materi itu disajikan. Misalnya memahami suatu prinsip dengan  pendekatan induktif atau deduktif.
3.      Metode Pembelajaran adalah cara mengajar secara umum yang dapat diterapkan pada semua mata pelajaran, misalnya mengajar dengan ceramah, ekspositori, tanya jawab, penemuan terbimbing dan sebagainya.
4.      Teknik mengajar adalah penerapan secara khusus suatu metode pembelajaran yang telah disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan guru, ketersediaan media pembelajaran serta kesiapan siswa. Misalnya teknik mengajarkan perkalian dengan penjumlahan berulang.
Sedangkan Model Pembelajaran adalah sebagai suatu disain yang menggambakan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa (Didang : 2005)
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998 : 203), pengertian strategi  (1) ilmu dan seni menggunakan sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam dan perang damai, (2) rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. 
Soedjadi (1999 :101) menyebutkan strategi pembelajaran adalah suatu siasat melakukan kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengubah keadaan pembelajaran menjadi pembelajaran yang diharapkan. Untuk dapat mengubah keadaan itu dapat ditempuh dengan berbagai pendekatan pembelajaran. Lebih lanjut Soedjadi menyebutkan bahwa dalam satu pendekatan dapat dilakukan lebih dari satu metode dan dalam satu metode dapat digunakan lebih dari satu teknik. Secara sederhana dapat dirunut sebagai rangkaian :
teknik  metode  pendekatan strategi model

Istilah  “ model pembelajaran” berbeda dengan strategi pembelajaran, metode pembelajaran, dan pendekatan pembelajaran. Model pembelajaran meliputi suatu model pembelajaran yang luas dan menyuluruh. Konsep model pembelajaran lahir dan berkembang dari pakar psikologi dengan pendekatan dalam setting eksperimen yang dilakukan. Konsep model pembelajaran untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Bruce dan koleganya (Joyce, Weil dan Showers, 1992) 
Lebih lanjut  Ismail (2003) menyatakan  istilah Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu yaitu : 
1.    rasional teoritik yang logis disusun oleh perancangnya,
2.    tujuan pembelajaran yang akan dicapai,
3.    tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil dan
4.    lingkungan belajar  yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
Berbedanya  pengertian antara model, strategi, pendekatan dan metode serta teknik  diharapkan guru mata pelajaran umumnya dan khususnya matematika mampu memilih model dan mempunyai strategi pembelajaran yang sesuai dengan materi dan standar kompetensi serta kompetensi dasar dalam standar isi. 

2.2.2    Pemilihan Model Pembelajaran
Dalam pembelajaran guru diharapkan mampu  memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Dimana dalam pemilihan  Model pembelajaran meliputi pendekatan suatu model pembelajaran yang luas dan menyeluruh. Misalnya  pada model pembelajaran berdasarkan masalah, kelompok-kelompok kecil siswa bekerja sama memecahkan suatu masalah yang telah disepakati oleh siswa dan guru. Ketika guru sedang menerapkan model pembelajaran tersebut, seringkali siswa menggunakan bermacam-macam keterampilan, prosedur pemecahan masalah dan berpikir kritis. Model pembelajaran berdasarkan masalah dilandasi oleh teori belajar konstruktivis. Pada model ini pembelajaran dimulai dengan menyajikan permasalahan nyata yang penyelesaiannya membutuhkan kerjasama diantara siswa-siswa. Dalam model pembelajaran ini guru memandu siswa menguraikan rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan; guru memberi contoh mengenai penggunaan keterampilan dan strategi yang dibutuhkan supaya tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan. Guru menciptakan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan oleh siswa.
   Tiap-tiap model pembelajaran membutuhkan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang sedikit berbeda. Misalnya, model pembelajaran kooperatif memerlukan lingkungan belajar yang fleksibel seperti tersedia meja dan kursi yang mudah dipindahkan. Pada model pembelajaran diskusi para siswa duduk dibangku yang disusun secara melingkar atau seperti tapal kuda. Sedangkan model pembelajaran langsung siswa duduk berhadap-hadapan dengan guru.
   Pemilihan model dan metode pembelajaran menyangkut strategi dalam pembelajaran. Strategi pembelajaran adalah perencanaan dan tindakan yang tepat dan cermat mengenai kegiatan pembelajaran agar kompetensi dasar dan indikator pembelajarannya dapat tercapai. Pembelajaran adalah upaya menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa. Di madrasah, tindakan pembelajaran ini dilakukan nara sumber (guru) terhadap peserta didiknya (siswa). Jadi, pada prinsipnya strategi pembelajaran sangat terkait dengan pemilihan model dan metode pembelajaran yang dilakukan guru dalam menyampaikan materi bahan ajar kepada para siswanya.
Model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh para guru sangat beragam. Model pembelajaran adalah suatu pola atau langkah-langkah pembelajaran tertentu yang diterapkan agar tujuan atau kompetensi dari hasil belajar yang diharapkan akan cepat dapat di capai dengan lebih  efektif dan efisien.

2.3    Model-Model Pembelajaran Penjas
Model Pembelajaran Penjas Model pembelajaran (models of teaching) dalam konteks pendidikan jasmani lebih banyak berkembang berdasarkan orientasi dan model kurikulumnya. Dalam hal ini, model pembelajaran lebih sering dilihat sebagai pilihan guru untuk melihat manfaat dari pendidikan jasmani terhadap siswa, atau lebih sering disebut sebagai orientasi. Di bawah ini diuraikan beberapa model pembelajaran, sebatas untuk dipahami perbedaan antara satu dengan lainnya.
2.3.1        Model Pendidikan Gerak (Movement Education)
Pendidikan gerak atau movement education, menekankan kurikulumnya pada penguasaan konsep gerak. Di Amerika Serikat, program pendidikan gerak mulai berkembang sejak tahun 1960-an, yang pelaksanaannya didasarkan pada karya Rudolph Laban. Kerangka kerja program Laban ini meliputi konsep kesadaran tubuh (apa yang dilakukan tubuh), konsep usaha (bagaimana tubuh bergerak), konsep ruang (di mana tubuh bergerak), dan konsep keterhubungan (hubungan apa yang terjadi). Masing-masing konsep tersebut, merupakan panduan untuk dimanfaatkan manakala anak harus bergerak, sehingga gerakan anak bermakna dalam keseluruhan konsep tersebut. Dari setiap aspek gerak di atas, tujuan dan kegiatan belajar dirancang dengan memanfaatkan pendekatan gaya mengajar pemecahan masalah, penemuan terbimbing, dan eksploratori (Logsdon et al., 1984).  Menurutnya, dalam model pendidikan gerak ini, siswa akan didorong untuk mampu menganalisis tahapan gerakan ketika menggiring bola basket (misalnya) dan menemukan posisi yang tepat ketika berada dalam permainan. Steinhardt (1992), mengutip Nichols, telah mengusulkan suatu kurikulum terpadu (integrated curriculum) yang mengajarkan pada siswa hubungan antara gerak yang dipelajari dengan berbagai kegiatan pendidikan jasmani. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan gerak, keseluruhan konsep itu dimanfaatkan dan dielaborasi, serta menjadi wahana bagi anak untuk mengeksplorasi kemampuan geraknya. Termasuk, jika ke dalam kurikulum tersebut dimasukkan beberapa orientasi kecabangan olahraga seperti senam atau permainan, bahkan dansa sekalipun. Di bawah ini akan diuraikan ruang lingkup kurikulum pendidikan gerak yang diorientasikan melalui permainan kependidikan dan senam kependidikan.
Jewet dan Bain (1985) menyatakan bahwa model pendidikan gerak telah dikritik dalam hal tidak ditemukannya klaim tentang transfer belajar‖ dan juga mengakibatkan menurunnya waktu aktif bergerak yang disebabkan oleh penekanan berlebihan pada pengajaran konsep gerak. Kritik lain telah mengajukan lemahnya bukti empiris untuk mendukung praktek penggunaan gaya pengajaran penemuan untuk mengajarkan keterampilan berolahraga (Dauer and Pangrazi, 1992; Siedentop, 1980).
2.3.2        Model Pendidikan Kebugaran (Fitness Education)
Salah satu literatur yang banyak membahas tentang pendidikan Jasmani orientasi model kebugaran adalah Physical Education for Lifelong Fitness (AAHPERD). Buku ini mendeskripsikan model pembelajaran pendidikan jasmani dari perspektif health-related fitness education (Steinhard, 1992). Model ini memiliki pandangan bahwa para siswa dapat membangun tubuh yang sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara melakukan aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-harinya. Namun kenyataan tersebut tidak mungkin dicapai tanpa adanya usaha karena sebagian besar anak dan remaja tidak memiliki kebiasaan hidup aktif secara teratur dan aktivitas fisiknya menurun secara drastis setelah dewasa. Untuk itu, program penjas di sekolah harus membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya. Kesempatan membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya menurut model ini masih tetap terbuka sepanjang merujuk pada alasan individu melakukan aktivitas fisik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik adalah (1) aktivitas fisik meyenangkan, (2) dapat dilakukan rame-rame, (3) dapat meningkatkan keterampilan, (4) dapat memelihara bentuk tubuh, dan (5) nampak lebih baik. Beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik tersebut harus menjadi dasar dalam menerapkan model kebugaran ini.
2.3.3        Model Pendidikan Olahraga (Sport Education)
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini berorientasi pada nilai rujukan Disciplinary Mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum dalam pembelajaran penjas. Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah satu materi penjas yang banyak digunakan oleh para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas sering tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan.
Para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya. Atau, jika pun melakukan permainan, permainan tersebut lebih sering tidak sesuai dengan tingkat kemampuan anak sehingga kehilangan nilai-nilai keolahragaannya. Akibatnya, pelajaran permainan itupun tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga. Dalam pandangan Siedentop, pembelajaran demikian tidak sesuai dengan konsep praktek yang seirama dengan perkembangan (developmentally appropriate practices/DAP). Bahkan dalam kenyataannya, untuk sebagian besar siswa, cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas.
2.3.4        Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Davidson dan Warsham “Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang berefektifitas yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademik”. Slavin menyatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen”. Jadi dalam model pembelajaran kooperatif ini, siswa bekerja sama dengan kelompoknya untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Dengan begitu siswa akan bertanggung jawab atas belajarnya sendiri dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan pada mereka.
Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya serta pengembangan keterampilan sosial. Johnson & Johnson menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok.
Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
1)      Siswa dalam kelompok bekerja sama menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
2)      Kelompok dibentuk secara heterogen.
3)      Penghargaan lebih diberikan kepada kelompok, bukan kepada individu.
Pada model pembelajaran kooperatif memang ditonjolkan pada diskusi dan kerjasama dalam kelompok. Kelompok dibentuk secara heterogen sehingga siswa dapat berkomunikasi, saling berbagi ilmu, saling menyampaikan pendapat, dan saling menghargai pendapat teman sekelompoknya.
2.3.5        Model Pendekatan Taktis
Pendekatan taktis mendorong siswa untuk memecahkan masalah taktik dalam permainan. Masalah ini pada hakikatnya berkenaan dengan peberapan keterampilan teknik dalam situasi permainan. Dengan demikian siswa makin memahami kaitan antara teknik dan taktik. Keuntungan lainnya, pendekatan ini tepat untuk mengajarkan keterampilan bermain sesuai dengan keinginan siswa. Tujuan utama dari pendekatan taktis dalam pengajaran permainan adalah untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep bermain.
            Pendekatan taktik bermain membantu memikirkan guru untuk menguji kembali pandangan filosofis mereka pada pendidikan bermain. Model mengajar ini memungkinkan siswa untuk menyadari keterkaitan antara bermain dan peningkatan penampilan bermain mereka. (Subroto 2001 : 4) menjelaskan tentang tujuan pendekatan taktis secara spesifik yaitu untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang konsep bermain melalui penerapan teknik yang tepat sesuai dengan masalah atau situasi dalam permainan.
            Model pembelajaran permainan taktikal menggunakan minat siswa dalam suatu struktur permainan untuk mempromosikan pengembangan keterampilan dan pengetahuan taktikal yang diperlukan untuk penampilan permainan. Sedangkan pembelajaran masuk ke dalam alam pikir siswa, sehingga terbentuk struktur pengetahuan tertentu. Pembelajaran pendekatan taktikal dalam pendidikan jasmani adalah bagian dari pembelajaran kognitif.
            Pada model pembelajaran permainan taktikal, guru merencanakan urutan tugas mengajar dalam konteks pengembangan keterampilan dan taktis bermain siswa, mengarah pada permainan yang sebenarnya. Tugas-tugas belajar menyerupai permainan dan modifikasi bermain sering disebut juga “bentuk-bentuk permainan”. Penekanannya pada pengembangan pengetahuan taktikal yang memfasilitasi aplikasi keterampilan dalam permainan, sehingga siswa dapat menerapkan kegiatan belajarnya saat dibutuhkan. Pada intinya adalah siswa dapat mengembangkan keterampilan dan taktis bermain secara berkesinambungan.
            Dalam strategi pembelajaran pendekatan taktis yaitu lebih menekankan pada konsep game-drill-game. Game yaitu bermain, siswa dituntut untuk bermain dengan konsep-konsep yang yang diberikan oleh guru dan memahami tentang permainan itu. Drill yaitu pengulangan, guru harus lebih teliti melihat permainan siswanya dan apabila terjadi kesalahan dalam tugas gerak maka guru menghentikan pembelajaran dan memberikan contoh gerakan yang benar kemudian siswa melakuakn tugas gerak. Kemudian game yaitu bermain, setelah melakukan pengulangan atau drill siswa kembali melakukan permainan dengan perubahan tugas gerak yang telah dilakukan pada tugas drill. Pembelajaran melalui model pembelajaran pendekatan taktis membiasakan siswa untuk melatih kognitif, afektif, dan psikomotor.
            Pembelajaran taktikal mengutamakan pada pemanfaatan “masalah-masalah taktikal” sebagai perantara dan tujuan pembelajaran. Guru harus mampu menunjukan masalah-masalah taktis yang diperlukan dalam situasi bermain. Sedangkan bagi siswa, sangat penting untuk mengenali posisi bermain di lapangan secara benar, pilihan-pilihan gerak yang mungkin dilakukan, dan situasi-situasi bermain yang dihadapi siswa.
            Kesadaran akan taktik, menggunakan dasar kemampuan untuk menekankan masala-masalah taktik yang muncul selama permainan. Hal itu sekaligus dapat memilih respons tersebut, mungkin terletak pada keterampilan gerak dalam penguasaan bola, seperti passing, dribling dan shooting dalam permainan bola tangan. Tujuan utama dalam mengajarkan olahraga di dalam pendidikan jasmani adalah untuk kesenangan, keterlibatan aktif, dan peningkatan keterampilan siswa yang bedampak positif terhadap hidupnya. Dalam proses pembelajaran, tujuan tersebut akan tercapai dan tidaknya tergantung pada bagaimana metode/ pendekatan keterampilan mengajar yang diterapkan guru kepada siswa dalam mengajar.
Selama ini dalam proses pengajaran pendididikan jasmani di sekolah masih ada guru yang menganut sistem pendekatan yang bersifat tradisional, yang menekankan pengajaran hanya pada penguasaan keterampilan atau teknik dasar suatu cabang olahraga. Meskipun format/ konsep pengajaran seperti itu memang bisa meningkatkan penguasaan teknik siswa, tetapi kekurangannya adalah bahwa keterampilan teknik dasar diajarkan kepada siswa sebelum siswa mampu memahami keterkaitan atau relevansi teknik-teknik dasar tersebut dengan penerapannya di dalam permainan yang sebenarnya, akibatnya sifat kesinambungan dari implementasi teknik dasar ke dalam permainan menjadi terputus. Untuk menghindari hal tersebut sekarang sudah dikenal suatu sistem pendekatan yang dirasakan lebih cocok untuk diterapkan dalam mengajar penjas terutama yang terkait dengan mengajar untuk olahraga-olahraga yang bersifat permainan yaitu sistem "pendekatan taktis". 
Pengajaran melalui pendekatan taktis ini berusaha menghubungkan kemampuan taktis bermain dan keterampilan teknik dasar dengan menekankan pemilihan waktu yang tepat untuk melatih teknik dasar dan aflikasi dari pada teknik dasar tersebut ke dalam keterkaitannya dalam kemampuan taktis bermain, sehingga mampu merangsang siswa untuk befikir dan menemukan sendiri alasan-alasan yang melandasi gerak dan penampilannya (peformance). Selain itu sistem pendekatan taktis ini dapat dipakai untuk menghindari dari ketidak tercapaiannya tujuan/ target kompetensi yang diajarkan karena minimnya pasilitas yang ada pada sekolah, ataupun dikarenakan alokasi waktu yang sedikit yang diberikan untuk mata pelajaran penjas ini.
Dalam pelaksanaannya pendekatan taktis ini memanfaatkan bentuk-bentuk permaianan yang dimodifikasi. Penulis contohkan di sini misalnya pada permainan bola voli, bentuk modifikasinya seperti ukuran lapangan diperkecil, tinggi tiang net diperpendek, jumlah pemain bisa dikurangi atau ditambah. Modifikasi ini disesuaikan dengan kemampuan keterampilan siswa dan sarana yang ada.
2.3.6        Model Inkuiry
Model pembelajaran inkuiri diciptakan oleh Suchman (1962) dengan alasan ingin memberikan perhatian dalam membantu siswa menyelidiki secara independen, namun dalam suatu cara yang teratur. Ia menginginkan agar siswa menanyakan mengapa sesuatu peristiwa itu terjadi, memperoleh dan mengolah data secara logis, dan agar siswa mengembangkan strategi intelektual mereka untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Inkuiri adalah suatu pencarian makna yang mensyaratkan seseorang untuk melakukan sejumlah operasi intektual untuk menciptakan pengalaman. Pada prinsipnya model inkuiri merupakan model yang menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa di samping juga pada guru, dan yang terutama dalam model inkuiri adalah siswa didorong untuk terlibat secara aktif dalam menyelesaikan suatu topik permasalahan hingga sampai pada suatu kesimpulan. Latihan inkuiri dapat diberikan pada setiap tingkatan umur (mulai dari Taman Kanak-kanak dan seterusnya), namun tentunya dengan tingkat kesulitan masalah yang berbeda.
Selain itu Metzler (2000:333) juga mengemukakan pendapatnya bahwa: “The inquiry model can be effective at all grades if the levels of cognitive and psychomotor problems given to student match their developmental readiness.” Maksudnya adalah model inkuiri bisa efektif untuk seluruh tingkatan kelas seandainya tingkat permasalahan kognitif dan psikomotor yang diberikan pada siswa sesuai dengan kesiapan perkembangannya. Masih menurut pendapat Metzler (2000:312) bahwa: “Inquiry teaching model is used in many schools in the United States and abroad, most often at the elementary grades.” Jadi model pembelajaran inkuiri ini digunakan oleh banyak sekolah di Amerika Serikat dan negara lainnya pada tingkat SD.
Dari pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah dengan waktu yang relatif singkat. Inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional.
2.3.7        Direct Instruction/ Model Pengajaran Langsung
Dasar teori model ini mengambil filosofi dasar dari aliran behavioralistik dimana stimulus dan respon memegang peranan penting. Siswa diajarkan untuk melakukan kegiatan yang benar dengan kontrol yang ketat. Model ini menuntut siswa melaksanakan apa yang direncanakan oleh guru dengan konsekeuensi adanya “reward”.
Guru adalah model yang baik dan harus sangat menguasai materi yang diberikan kepada siswa. Adalah sebuah kesalahan ketika menempatkan guru sebagai dewa yang tidak pernah salah. Cara ini akan sangat baik ketika tingkat penguasaan guru terhadap materi, siswa, lingkungan, skenario sangat-sangat “exelence”.
Arti mengajar bagai guru dan belajar bagi siswa. a) Bagi guru: Guru adalah sumber utama dari semua perencanaan yang ada, Guru menentukan isi, tempat, aktivitas belajar dan peningkatan pembelajaran, Guru harus dapat mentranser ilmu dengan efektif dan efisien, Guru harus dapat memanfaatkan semua sumber yang ada untuk terlaksananya proses belajar, Guru disamping merencanakan juga merupakan pelaksana dari perencanaan yang diimplementasikan kepada siswa. b) Bagi siswa: Siswa belajar dari hal yang mudah ke sukar, sederhana ke komplek, Siswa harus dengan jelas mengerti tugas yang menjadi bahan ajar dan dipelajari termasuk kreteria keberhasilan, Belajar merupakan konsekuensi yang akan ada “reward”, Siswa membutuhkan banyak bantuan dalam mempelajari bahan yang dipelajari, Dalam belajar siswa berhak untuk mendapatkan umpan balik agar terjadi proses belajar dengan benar.
2.3.8        Model Tanggung Jawab Pribadi dan Sosial
A.      Model Hellison
Salah satu model pembelajaran pendidikan jasmani yang termasuk dalam katagori model rekonstruksi social adalah model Hellison, (1995), yang berjudul Teaching Responsibility Through Physical Activity.
Pembelajaran pendidikan jasmani dalam model ini lebih menekankan pada kesejahteraan individu secara total, pendekatannya lebih berorientasi pada siswa, yaitu self-actualization dan social reconstruction. Steinhart mengatakannya sebagai model humanistic. Model pembelajaran pendidikan jasmani dari Hellison ini diberi nama level of affective development.
Tujuan model Hellison ini adalah meningkatkan perkembangan personal dan responsibility siswa dari irresponsibility, self control, involvement, self direction dan caring melalui berbagai aktivitas pengalaman belajar gerak sesuai kurikulum yang berlaku. Hellison dalam bukunya ini mengungkap beberapa bukti keberhasilan modelnya dalam mengatasi masalah pribadi dan sosial siswa. Namun demikian Ia juga menyadari akan beberapa kritik yang dilontarkan terhadap modelnya ini misalnya produk social dan personal dari model ini walaupun penting namun tidak berhubungan secara spesifik dengan subjek mater pendidikan jasmani seperti keterampilan olahraga atau kebugaran tetapi bersifat umum berlaku juga pada pelajaran lain.
Model Helison ini sering digunakan untuk membina disiplin siswa (self-responsibility) untuk itu model ini sering digunakan pada sekolah-sekolah yang bermasalah dengan disiplin siswanya. Hellison mempunyai pandangan bahwa: perubahan perasaan, sikap, emosional, dan tanggung jawab sangat mungkin terjadi melalui penjas, namun tidak terjadi dengan sendirinya. Perubahan ini sangat mungkin terjadi manakala penjas direncanakan dan dicontohkan dengan baik dengan merefleksikan qualitas yang diinginkan. Potensi ini diperkuat oleh keyakinan Hellison bahwa siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”.
Melalui model ini guru berharap bahwa siswa berpartisipasi dan menyenangi aktivitas untuk kepentingannya sendiri dan bukannya untuk mendapatkan penghargaan ekstrinsik. Fair play dalam penjas akan direfleksikan dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu pada dasarnya model Hellison ini dibuat untuk membantu siswa mengerti dan berlatih rasa tanggung jawab pribadi (self-responsibility) melalui pendidikan jasmani.
1.   Tanggung Jawab Pribadi
Rasa tanggung jawab pribadi yang dikembangkan dalam model ini terdiri dari lima tingkatan, yaitu level 0, 1, 2, 3, dan level 4.
a)  Level 0: Irresponsibility
Pada level ini anak tidak mampu bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan mengejek, menekan orang lain, dan mengganggu orang lain secara fisik. Contoh lain misalnya: di rumah: menyalahkan orang lain di tempat bermain: memanggil nama jelek terhadap orang lain di kelas: berbicara dengan teman saat guru sedang menjelaskan dalam Penjas: mendorong orang lain pada saat mendapatkan peralatan olahraga.
b)   Level 1: Self-Control
Pada level ini anak terlibat dalam aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain. Anak didik nampak hanya melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh misalnya: di rumah: menghindari dari gangguan atau pukulan dari saudaranya walaupun hal itu tidak disenanginya. di tempat bermain: berdiri dan melihat orang lain bermain di kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat untuk berbicara dengan temannya. dalam Penjas: berlatih tapi tidak terus-menerus.
c)   Level 2: Involvement
Anak didik pada level ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk belajar dan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya: di rumah: membantu mencuci dan membersihkan piring kotor di tempat bermain: bermain dengan yang lain di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan tugas yang diberikan dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan mengatakan tidak bisa.
d)   Level 3: Self-responsibility
Pada level ini anak didik didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya. Ini mengandung arti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independen tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini siswa sering disuruh membuat permainan atau urutan gerakan bersama temannya dalam suatu kelompok kecil. Kegiatan seperti ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada level sebelumnya. Mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada untuk melakukan gerakan bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa pada level tiga ini misalnya: di rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang menyuruh di tempat bermain: mengembalikan peralatan tanpa harus disuruh di kelas: belajar sesuatu yang bukan merupakan bagian dari tugas gurunya dalam Penjas: berusaha belajar keterampilan baru melalui berbagai sumber di luar pelajaran Pendidikan Jasmani dari sekolah.
e)   Level 4: Caring
Anak didik pada level ini tidak hanya bekerja sama dengan temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi partner teman yang tidak terkenal di kelas itu, tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk melakukan itu. Beberapa contoh misalnya: di rumah: membantu memelihara dan menjaga binatang peliharaan atau bayi. di tempat bermain: menawarkan pada orang lain (bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut sama-sama bermain. di kelas: membantu orang lain dalam memecahkan masalah-masalah pelajaran. dalam Penjas: antusias sekali untuk bekerja sama dengan siapa saja dalam Penjas.

B.        Model Canter’s Asertif
Selain model Hellison sebagaimana tersebut di atas, terdapat model lain dalam pendidikan jasmani yang sering digunakan secara terintegrasi untuk mengembangkan disiplin siswa dengan strategi yang relative sama, yaitu model disiplin assertif. Model ini dikembangkan oleh Canter (1976). Ia membuat model pembinaan disiplin dengan nama Canter’s Assertive Discipline.
Perbedaan model yang dikembangkan oleh Hellison dan Canter terutama terletak pada motivasi yang dijadikan landasan untuk mengembangkan didiplin siswa. Model Hellison lebih menekankan pada motivasi intrinsic yang dilandasi pada keyakinan bahwa: siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”. Sementara itu, model Canter lebih menekankan pada motivasi ekstrinsik, seperti penghargaan, pujian, dan dorongan, termasuk konsekuensi.
Model ini didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut:
a)        Semua siswa dapat berperilaku baik
b)        Pengawasan yang ketat atau kokoh akan tetapi tidak pasif dan tidak menakutkan adalah layak untuk diberikan.
c)        Harapan atau keinginan guru yang rasional mengenai perbuatan siswa yang sesuai dengan perkembangannya (seperti dibuat dalam peraturan) harus diberitahukan kepada siswa.
d)       Guru harus mengharapkan siswa berperilaku secara layak dan pantas namun harus mendapat dukungan dari orang tua siswa, guru lain, dan kepala sekolah.
e)        Tingkahlaku siswa yang baik harus segera didukung atau dihargai sementara tingkahlaku yang tidak baik harus mendapat konsekuensi yang logis.
f)         Konsekuensi logis akibat penyimpangan perilaku harus ditetapkan dan disampaikan kepada siswa.
g)        Konsekuensi harus dilaksanakan secara konsisten tanpa bias.
h)        Komunikasi verbal dan non verbal harus disampaikan dengan kontak mata antara guru dan siswa.
i)          Guru harus melatih keinginan-keinginan atau harapkan-harapan dan konsekuensi secara mental dengan konsisten kepada siswa.




Bookmark and Share

JANGAN LUPA KLIK IKLANNYA YAA..
1 X KLIK SANGAT BERARTI

Anda sedang membaca artikel Model-Model Pembelajaran Penjas. Terimakasih atas kunjungan serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Jika memang bermanfaat, Anda boleh menyebarluaskannya dan jangan lupa untuk menyertakan sumber link dibawah ini:

http://pendidikanjasmani13.blogspot.com/2014/06/model-model-pembelajaran-penjas.html

0 comments:

Posting Komentar