EnsikloPenjas

Senin, 07 Mei 2012

Falsafah Pendidikan Jasmani

FALSAFAH PENDIDIKAN JASMANI

Drs. Agus Mahendra, M.A.

Landasan Psikologis Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani melibatkan interaksi antara guru dengan anak serta anak dengan anak. Di dalam adegan pembelajaran yang melibatkan interaksi tersebut, terletak suatu keharusan untuk saling mengakui dan menghargai keunikan masing-masing, termasuk kelebihan dan kelemahannya. Dan ini bukan hanya berkaitan dengan kelainan fisik semata-mata, tetapi juga dalam kaitannya dengan perbedaan psikologis seperti kepribadian, karakter, pola pikir, serta tak kalah pentingnya dalam hal pengetahuan dan kepercayaan.

Program pendidikan jasmani yang baik tentu harus dilandasi oleh pemahaman guru terhadap karakteristik psikologis anak, dan yang paling penting dalam hal sumbangan apa yang dapat diberikan oleh program pendidikan jasmani terhadap perkembangan mental dan psikologis anak.

Studi dalam ilmu-ilmu psikologi mempunyai implikasi untuk para guru pendidikan jasmani, terutama dalam wilayah atau sub-disiplin ilmu teori belajar, teori pembelajaran gerak, perkembangan kepribadian, serta sikap. Kesemua sub-disiplin itu, memberikan pemahaman yang lebih luas dalam hal bagaimana anak belajar, dan yang terpenting upaya apa yang harus dipertimbangkan guru dikaitkan dengan menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan anak belajar.

Kata psikologi berasal dari kata-kata Yunani psyche, yang berarti jiwa atau roh, dan logos, yang berarti ilmu. Diartikan secara populer, psikologi adalah ilmu jiwa atau ilmu pikiran. Para ahli psikologi mempelajari hakikat manusia secara ilmiah, dan untuk memahami alam pikiran manusia, termasuk anak, termasuk ciri-ciri manusia ketika belajar.

Pendidikan jasmani lebih menekankan proses pembelajarannya pada penguasaan gerak manusia. Pemahaman yang lebih mendalam terhadap kecenderungan dan hakikat gerak ini, misalanya melalui teori gerak dan teori belajar gerak, maka memungkinkan guru lebih memahami tentang kondisi apa yang perlu disediakan untuk memungkinkan anak belajar secara efektif.

Jika dahulu para guru penjas lebih bersandar pada teori belajar behaviorisme, yang lebih melihat proses pembelajaran dari perubahan perilaku anak, maka dewasa ini sudah diakui adanya keharusan untuk memahami tentang apa yang terjadi di dalam diri anak ketika mempelajari keterampilan gerak, yang ditunjang oleh berkembangan teori belajar kognitivisme.

Bersandar secara berlebihan pada teori belajar behaviorisme tentu mengandung kelemahan tertentu, karena mendorong dan membenarkan guru dengan proses pembelajaran yang sangat mekanistis; sekedar terjadi persambungan antara stimulus (aba-aba guru) dengan respons siswa (gerakan siswa), yang diperkuat oleh adanya reinforcement (ucapan pujian dari guru). Akibatnya, guru pun umumnya abai dengan bagaimana sebenarnya proses yang terjadi di dalam otak dan perangkat gerak anak, sehingga guru tidak pernah terlalu mempertimbangkan kualitas dari proses pembelajaran, termasuk keharusan untuk melibatkan proses berpikir dari anak. Akhirnya, anak relatif tidak pernah punya gagasan apapun dalam pelajaran, dan klaim bahwa penjas memiliki peranan dalam pengembangan kemampuan intelektual anak tidak terbuktikan secara nyata.

Perkembangan teori belajar kognitivisme menguak fakta kekakuan proses pembelajaran penjas tersebut. Dalam salah satu teori belajar pengolahan informasi (information processing theory) diungkap bahwa idealnya pembelajaran gerak adalah sebuah proses pengambilan keputusan, yang secara hirarkis akan selalu melalui tiga tahapan yang tetap, yaitu tahap mengidentifikasi stimulus, tahap memilih respons, dan tahap memprogram respons. Jika pada proses pembelajaran siswa diberi kesempatan dan didorong untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan pengambilan keputusannya, maka secara pasti kemampuannya tersebut terlatih, karena masing-masing perangkat yang berhubungan dengan ketiga tahapan pengambilan keputusan itupun kemampuannya semakin meningkat pula.

Dari pemahaman terhadap landasan psikologis itulah, maka pembelajaran penjas yang baik tidak cukup hanya dengan memberikan perintah dan tugas-tugas gerak semata (misalnya dengan instruksi yang klasik seperti, “... ketika kamu menerima bola, kamu lari ke arah sana, lalu kamu lempar bola itu ke si A, dan kamu kembali ke sini”), melainkan harus pula dibarengi dengan upaya memberikan kesempatan pada mereka untuk menganalisis situasi dan berikan kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri (misalnya: “... baik, ketika posisi lapangan ketat dan kamu dijaga terus oleh lawan, kira-kira kemanakah kamu harus melempar bola? Coba kita praktekkan, apakah keputusanmu sudah tepat atau tidak?”).

Landasan Sosiologis dalam Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani adalah sebuah wahana yang sangat baik untuk proses sosialisasi. Perkembangan sosial jelas penting, dan aktivitas pendidikan jasmani mempunyai potensi untuk menuntaskan tujuan-tujuan tersebut. Seperangkat kualitas dari perkembangan sosial yang dapat dikembangkan dan dipengaruhi dalam proses penjas di antaranya adalah kepemimpinan, karakter moral, dan daya juang.

Sosiologi berkepentingan dengan upaya mempelajari manusia dan aktivitasnya dalam kaitannya dengan hubungan atau interaksi antar satu manusia dengan manusia lainnya, termasuk sekelompok orang dengan kelompok lainnya. Di sisi lain, sosiologi berhubungan juga dengan ilmu yang menaruh perhatian pada lembaga-lembaga sosial seperti agama, keluarga, pemerintah, pendidikan, dan rekreasi. Singkatnya, sosiologi adalah ilmu yang berkepentingan dalam mengembangkan struktur dan aturan sosial yang lebih baik yang dicirikan oleh adanya kebahagiaan, kebaikan, toleransi, dan kesejajaran sosial.

Dikaitkan dengan landasan tersebut, seorang guru penjas sesungguhnya adalah seorang sosiologis yang perlu mengetahui prinsip-prinsip umum sosiologi, agar mampu memanfaatkan proses pembelajarannya untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat dikembangkan melalui penjas. Sebagaimana dikemukakan Bucher, guru yang mengerti sosiologi dalam konteks kependidikan akan mampu mengembangkan minimal tiga fungsi: (1) pengaruh pendidikan pada institusi sosial dan pengaruh kehidupan kelompok pada individu, seperti bagaimana sekolah berpengaruh kepribadian atau perilaku individu; (2) hubungan manusia yang beroperasi di sekolah yang melibatkan siswa, orang tua, dan guru dan bagaimana mereka mempengaruhi kepribadian dan perilaku individu; dan (3) hubungan sekolah kepada institusi lain dan elemen lain masyarakat, misalnya pengaruh dari pendidikan pada kehidupan masyarakat kota.




Bookmark and Share

JANGAN LUPA KLIK IKLANNYA YAA..
1 X KLIK SANGAT BERARTI

Anda sedang membaca artikel Falsafah Pendidikan Jasmani. Terimakasih atas kunjungan serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Jika memang bermanfaat, Anda boleh menyebarluaskannya dan jangan lupa untuk menyertakan sumber link dibawah ini:

http://pendidikanjasmani13.blogspot.com/2012/05/falsafah-pendidikan-jasmani.html

0 comments:

Posting Komentar